Semua dimulai ketika aku bergabung pada, katakanlah, event organizer yang acaranya berlangsung satu bulan lagi. Entah kenapa temanku tiba-tiba mengajakku untuk bergabung, padahal sebelum-sebelumnya tidak. Aku tiba 10 menit sebelum meeting dimulai, kemudian memarkirkan motor spacy biru dihalaman yang cukup luas. Layaknya etika anak baru, aku masuk ke ruang meeting dengan sopan, berkenalan dengan tim sambil selalu tersenyum. Entah kenapa, agar tidak menimbulkan kesan buruk saja. Disana kami duduk melingkar sehingga aku dapat melihat dan mencoba mengingat seluruh anggota tim. Tampak hanya sekitar 7 anggota baru, dan sisanya para senior yang penampilannya lebih casual dengan menggunakan kaos dibandingkan para anggota baru yang semua berkemeja rapi.
Tak lama kemudian, meeting dimulai. Seperti biasa, kami berkenalan terlebih dahulu. Karena saling kenal akan mempermudah komunikasi baik sebelum maupun ketika eksekusi hari H. Kemudian penjelasan demi penjelasan terus dipaparkan oleh senior-senior di tempat tersebut. Mereka menjelaskan dengan semangat dan memberi senyuman hangat. Namun entah kenapa otakku membagi fokus dengan materi kimia yang akan diujikan tepat esok hari. Ya! Aku sudah berjanji kepada orangtua untuk tetap menstabilkan nilaiku walaupun aku memiliki kesibukan lain diluar kampus. Tapi tentu saja aku tetap mendengarkan pemaparan dan mengingat poin penting yang mereka ucapkan.
...hingga akhirnya giliran dia menjelaskan konsep acara...
Laki-laki yang duduk tepat didepanku, kini mulai menjelaskan konsep acara. Tidak seperti senior-senior yang sebelumnya, dia berbeda. Jarang sekali, dan mungkin dia tidak sempat menorehkan senyum diwajahnya. Tatapannya sungguh tajam, dan parahnya, dia menatap tepat pada kedua bola mataku. Akupun membalas tatapannya dengan gugup. Satu detik, dua detik, bahkan bermenit-menit dia memaparkan konsep acara dengan tetap menatap padaku. Entah aku anggota baru yang telah melakukan kesalahan apa, aku tidak tahu. Hampir bisa terhitung, dia memalingkan tatapannya sesekali ke sayap bagian kiri dan kanan ruang meeting tersebut. Namun pada akhirnya tatapannya kembali kepada mataku. Jujur aku hampir kehabisan nafas saking gugupnya karena tatapannya yang tajam. Sekitar 7 menit dia mengoceh, dan 7 menit itu pula aku berusaha terus membalas tatapannya. Sepertinya dalam ruangan tersebut tidak ada yang menyadari apa yang dilakukannya, sebab berbicara sambil menatap lurus ke depan mungkin sudah tampak wajar. Tapi, apakan orang yang terus ditatapnya, menganggap hal itu wajar? Tentu tidak!
"Kamu, sanggup bertanggung jawab dengan acara kedua bagian awal?", tanya dia dengan wajah tetap menatapku.
Akupun menoleh ke kiri dan kananku. Apakah dia sedang berbicara padaku atau mungkin pada yang lain.
"Hei, aku bertanya padamu! Fokus!"
Tiba-tiba seorang teman di sebelah kiriku menyenggol lenganku dan berbisik lirih, "Hei, vi. Cepat kasih respon".
"Sssaa ssaya, Kak?", tanyaku sambil menunjukkan jari telunjuk kananku kepada wajahku sendiri. Ssanggup kkak", jawabku gugup dengan ekspresi bodoh.
"Okay, nanti kujelaskan jobdismu lebih lanjut. Sekarang, kita lanjutkan. . ."
Huuufff.
Jantung ini rasanya dapat berdetak kembali. Kali ini dia sudah tidak menatapku lagi, sebab dia mulai membagi job kepada anggota yang lain. Syukurlah..
Sepulang dari meeting tersebut, aku masih bertanya-tanya. Siapa kakak itu sebenarnya? Sepertinya tidak terlalu asing. Apa aku pernah melakukan kesalahan padanya? Atau mungkin, memang kebiasaannya untuk menatap lurus kedepan saat berbicara dalam tim? Entahlah, akupun tidak tahu.
No comments:
Post a Comment