Wednesday, March 30, 2016

Deadliner bergerimis.

Siapa sangka kalau hari yang penat dan menyebalkan bisa datang dengan tiba-tiba. Yup, karena terkadang pagi yang cerah dan hangat juga bisa menjadi badai sesaat setelahnya. Mungkin seperti hari ini.

Bukan hal yang asing lagi buat mahasiswa untuk begadang sampai pagi. Memang sih, ada banyak alasan buat begadang. Bisa jadi karena nongkrong, nonton drama, nonton bola, main kartu atau apalah alasan lainnya. Tapi umumnya, alasan utama mahasiswa untuk begadang tentu saja karena tugas. Tu-gas! Entah kenapa kata-kata itu tidak terdengar asing, bahkan hampir mirip dengan frekuensi kata I Love You pada pasangan yang masih hangat-hangatnya baru jadian. Mugkin bahasa alaynya, "Tugas adalah udara, tugas adalah nafasku, tugas adalah aku~". Preettt. Apa sih, Vi.  ((sok) puitis mode : on).

Kenapa sampai sebegitunya mendefinisikan tugas? Karena rasanya ngga komplit satu hari tanpa tugas. Ya! Seperti bakso tanpa saos, seperti teh tanpa es, atau seperti cabe tanpa hot pants. Sorry salah, maksudnya cabe tanpa gorengan. Eh, gorengan tanpa cabe. Duuuh, keliru kan. Whatever -,- Luar biasanya, ngga jarang juga 1 hari diisi dengan berbagai deadline tugas. Oh my God, satu aja udah ampun

Dan kamipun dengan kompaknya menyalahkan semua hal itu sebagai alasan besar kami tumbuh menjadi deadliner. Hahaha. Rasanya pingin ngomong "entar aja deh" kalau berhadapan dengan tugas dengan rage deadline yang lumayan. Ngga baik emang, tapi, ya, bagaimana ya, kalian tau sendiri lah. Semacam butuh dorongan dan motivasi luar biasa untuk bisa menyelesaikan tugas semacam itu. Dan bagi seorang deadliner, deadline lah motivasi terbesar mereka. Memang bener, the power of kepepet sungguh bekerja. Ini terbukti! Saya sudah berulang kali membuktikannya! Percayalah! (Heboh ala ala iklan peninggi badan :D )

Eiiits, tapi sebenarnya saya bukan orang yang sepenuhnya deadliner kok. Untuk tugas dari mata kuliah yang saya sukai, tentu saya mengerjakannya jauh-jauh hari. Seperti tugas untuk deadline hari ini. Berjuang mati-matian dari pagi hingga pagi, dalam kurun waktu 4 hari. Dan kalian tahu kan, setiap orang yang kurang waktu tidur, kestabilan emosinya akan mudah terganggu. Tepat di siang hari, ada anak yang terus menyalahkan saya tanpa alasan yang jelas -,- Ngga hanya itu, dia terus-terusan mengomentari tugas saya, namun dia dengan santainya menyalin tugas yang telah dia komentari panjang lebar kali tinggi itu (re: tugas punya saya). Hah? Kenapa dia gitu, Vi? Hmm, good question. Pertanyaan yang sama dengan saya. Entahlah, mungkin dia lelah. Sungguh! Komentarnya membuat kepala saya mau pechhaaaah! -_-

Sempat juga sih menjadi super badmood karenanya. Melangkah tanpa pasti menuju kelas selanjutnya saking lelahnya menghadapi hari ini. Lemas, tak bersemangat. Sudah kurang tidur, dapet komentar panjang lagi -__- Kucoba menarik nafas dalam-dalam, berharap emosi ini segera stabil. Tapi sayangnya kali ini cara itu tidak berjalan dengan baik.

Kelaspun berakhir, waktunya ke tempat parkir. Tiba-tiba ada tetes air di kerudungku. Menetes lagi, dan lagi. Mulai cepat. Dan airpun mengalir di wajahku tepat. Hening. Tiba-tiba semua terasa hening dan tenang. Untuk beberapa saat telingaku mengignore seluruh polusi suara yang ada. Semakin tenang, dan aku merasa nyaman. Entah untuk beberapa saat, dalam gerimis justru aku merasa hangat. Mungkin karena dulu aku begitu menyukai hujan. Akupun mulai membuang segala emosi buruk, dan tanpa sadar terlukis senyuman diwajahku. Mungkin cukup aneh, tapi itulah yang terjadi. Akupun berbisik dalam hati, terimakasih, gerimis.

Monday, March 28, 2016

'Cause I Know What You Think

       Untuk sebagian orang, mengetahui apa yang orang lain pikirkan mungkin menjadi hal yang menyenangkan. Namun percayalah, tidak selamanya begitu. 

       Sebenarnya aku bukan sesosok perempuan yang pandai membaca pikirkan orang lain. Aku hanya menganalisis ekspresi dan membandingkan dengan keadaan lingkungan sehingga aku dapat memprediksi tentang apa yang ada di dalam pikiran orang tersebut. Hal ini sudah sering kucoba semenjak aku masih kecil. Dan, memang cukup menyenangkan. Hingga hari seperti itu datang...

      Saat itu ada kuis suatu pelajaran yang memang membutuhkan energi lebih untuk memahami pelajaran tersebut. Jujur saja, aku lebih suka memahami materi dari pada menghafalkan soal tahun lalu. Sehingga aku memilih untuk mengerjakan soal setelah aku belajar materi pelajaran tersebut. Temanku mengatakan bahwa sebaiknya aku menghafalkan setiap jawaban penyelesaian soal tahun lalu, namun sayangnya aku menolak.

       Hingga akhirnya aku terkejut ketika mendapat soal kuis yang sama persis dengan soal tahun lalu. Entah kenapa, aku tidak beruntung saat itu. Ketika nilai hasil kuis dibagikan, ada sesosok anak yang mendapatkan hasil kuis dengan bangga dan membandingkan lembar jawabannya dengan jawaban teman lain yang nilainya tidak jauh dengannya. Apalah dayaku yang berakhir dengan nilai pas-pasan ini. Memang bukan nilai yang buruk, namun juga bukan nilai yang bagus. Tapi permasalahannya, moodku hancur pada saat itu bukan karena hasil yang kudapatkan, namun karena tatapan merendahkan dari dia. Akupun berjanji akan menaklukkan pelajaran tersebut.

       Haripun berlalu, ujianpun tiba. Untuk mata pelajaran itu, aku belajar tanpa memikirkan jam tidur. Aku berjuang mati-matian. Mungkin aku hanya beristirahat sekitar 1 jam untuk menyiapkan tenaga dan merefresh pikiran. Akupun melangkah menuju ruang kelas dengan tatapan datar. Entah karena lelah, atau karea gugup. Untunglah, soal kali ini tidak terlalu susah. Namun tetap saja aku merasa gregetan ketika mendapat soal dengan jawaban yang meragukan. Aku coba segala cara dengan mengotak atik angka pada kalkulatorku. Akupun berkeringat di dalam ruangan berAC tersebut. "Ayo, Vi! Coba perhitungan yang lain!", bisikku dalam hati.

       Tak terasa liburpun tiba. Aku menikmati liburku dengan menonton acara televisi yang menurutku tidak terlalu menarik. Entah kenapa, pikiranku melayang tanpa tujuan. Tiba-tiba handphoneku berdering. Ada chat masuk dengan berisikan pengumuman hasil ujian kemarin. Dan hasilnya, aku mendapatkan nilai tertinggi dikelas. Ya, tertinggi, di kelas. Memang nilai ku itu belum mencapai target yang kupasang untuk diriku sendiri. Namun setidaknya, seluruh anggota kelas mulai memperhatikan namaku. 

      Akupun terdiam sejenak dan mulai bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku bangga dengan hal ini? Apa aku sudah merasa hebat telah berada pada posisi di atas dia? Apakah aku melakukan hal ini karena pembalasan dendam atas tatapannya?

    Dan semuapun terjawab. Bukan. Aku melakukan perjuangan itu bukan karena mereka. Namun karena aku ingin menguji diriku sendiri, sejauh apa aku bisa melompat ketika aku benar-benar berusaha. Ya! Hasil tidak akan menghianati usaha. :)

Sunday, March 27, 2016

Berawal dari Tatap Mata

       Semua dimulai ketika aku bergabung pada, katakanlah, event organizer yang acaranya berlangsung satu bulan lagi. Entah kenapa temanku tiba-tiba mengajakku untuk bergabung, padahal sebelum-sebelumnya tidak. Aku tiba 10 menit sebelum meeting dimulai, kemudian memarkirkan motor spacy biru dihalaman yang cukup luas. Layaknya etika anak baru, aku masuk ke ruang meeting dengan sopan, berkenalan dengan tim sambil selalu tersenyum. Entah kenapa, agar tidak menimbulkan kesan buruk saja. Disana kami duduk melingkar sehingga aku dapat melihat dan mencoba mengingat seluruh anggota tim. Tampak hanya sekitar 7 anggota baru, dan sisanya para senior yang penampilannya lebih casual dengan menggunakan kaos dibandingkan para anggota baru yang semua berkemeja rapi.
       
       Tak lama kemudian, meeting dimulai. Seperti biasa, kami berkenalan terlebih dahulu. Karena saling kenal akan mempermudah komunikasi baik sebelum maupun ketika eksekusi hari H. Kemudian penjelasan demi penjelasan terus dipaparkan oleh senior-senior di tempat tersebut. Mereka menjelaskan dengan semangat dan memberi senyuman hangat. Namun entah kenapa otakku membagi fokus dengan materi kimia yang akan diujikan tepat esok hari. Ya! Aku sudah berjanji kepada orangtua untuk tetap menstabilkan nilaiku walaupun aku memiliki kesibukan lain diluar kampus. Tapi tentu saja aku tetap mendengarkan pemaparan dan mengingat poin penting yang mereka ucapkan.

       ...hingga akhirnya giliran dia menjelaskan konsep acara...

       Laki-laki yang duduk tepat didepanku, kini mulai menjelaskan konsep acara. Tidak seperti senior-senior yang sebelumnya, dia berbeda. Jarang sekali, dan mungkin dia tidak sempat menorehkan senyum diwajahnya. Tatapannya sungguh tajam, dan parahnya, dia menatap tepat pada kedua bola mataku. Akupun membalas tatapannya dengan gugup. Satu detik, dua detik, bahkan bermenit-menit dia memaparkan konsep acara dengan tetap menatap padaku. Entah aku anggota baru yang telah melakukan kesalahan apa, aku tidak tahu. Hampir bisa terhitung, dia memalingkan tatapannya sesekali ke sayap bagian kiri dan kanan ruang meeting tersebut. Namun pada akhirnya tatapannya kembali kepada mataku. Jujur aku hampir kehabisan nafas saking gugupnya karena tatapannya yang tajam. Sekitar 7 menit dia mengoceh, dan 7 menit itu pula aku berusaha terus membalas tatapannya. Sepertinya dalam ruangan tersebut tidak ada yang menyadari apa yang dilakukannya, sebab berbicara sambil menatap lurus ke depan mungkin sudah tampak wajar. Tapi, apakan orang yang terus ditatapnya, menganggap hal itu wajar? Tentu tidak!

     "Kamu, sanggup bertanggung jawab dengan acara kedua bagian awal?", tanya dia dengan wajah tetap menatapku. 
     Akupun menoleh ke kiri dan kananku. Apakah dia sedang berbicara padaku atau mungkin pada yang lain.
      "Hei, aku bertanya padamu! Fokus!"
      Tiba-tiba seorang teman di sebelah kiriku menyenggol lenganku dan berbisik lirih, "Hei, vi. Cepat kasih respon".
      "Sssaa  ssaya, Kak?", tanyaku sambil menunjukkan jari telunjuk kananku kepada wajahku sendiri. Ssanggup kkak", jawabku gugup dengan ekspresi bodoh.
      "Okay, nanti kujelaskan jobdismu lebih lanjut. Sekarang, kita lanjutkan. . ."
       
       Huuufff.
      Jantung ini rasanya dapat berdetak kembali. Kali ini dia sudah tidak menatapku lagi, sebab dia mulai membagi job kepada anggota yang lain. Syukurlah..

       Sepulang dari meeting tersebut, aku masih bertanya-tanya. Siapa kakak itu sebenarnya? Sepertinya tidak terlalu asing. Apa aku pernah melakukan kesalahan padanya? Atau mungkin, memang kebiasaannya untuk menatap lurus kedepan saat berbicara dalam tim? Entahlah, akupun tidak tahu.